Review Call of Duty – WWII: Salah Satu Seri Terbaik!


Selayaknya rutinitas tahunan yang selalu Anda jalani, seperti merayakan hari besar keagamaan hingga sekedar menyemangati diri karena bertambahnya umur yang tidak terhindarkan di tanggal kelahiran, begitulah status Call of Duty di industri game. Setelah kesuksesan fantastis yang diraih oleh Activision dan Infinity Ward dengan Call of Duty 4: Modern Warfare, keputusan untuk mengeksploitasinya sebagai franchise tahunan memang berbuah manis untuk salah satu pubsliher terbesar di industri game tersebut. Kesuksesan terus mengikuti, cukup untuk membuat Activision merancang sistem rotasi tiga developer – Infinity Ward, Treyarch, dan Sledgehammer Games untuk menanganinya, dengan masing-masing bekerja dengan seri Call of Duty mereka sendiri-sendiri. Hingga pada akhirnya, di tahun 2017 ini, giliran Sledgehammer Games untuk membuktikan taji mereka.

Tentu saja, ada yang istimewa dengan seri yang dilepas untuk tahun 2017 ini. Walaupun ia masih menjadi ladang “super basah” bagi Activision untuk memanen uang, popularitas Call of Duty memang kian menurun dari tahun ke tahun. Activision yang biasanya sesumbar soal jumlah kopi terjual, total pendapatan yang diraih, hingga ragam data lain yang fenomenal di masa lalu kini memilih diam di beberapa seri Call of Duty terakhir. Ini memberikan sinyal bahwa memang ada masalah di belakang layar, terutama soal angka yang tidak lagi memenuhi ekspektasi yang ada. Untuk membenahi itu, Activision dan Sledgehammer Games akhirnya mengamini apa yang sudah diteriakkan oleh gamer untuk waktu yang cukup lama. Membawa Call of Duty kembali ke akarnya – sebuah game perang dengan tema Perang Dunia Kedua di atasnya.

Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Call of Duty: WWII ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai salah satu seri terbaik? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Plot


Setelah sempat diisi dengan setidaknya 4 buah seri perang futuristik yang pelan tapi pasti, terus mengikis popularitas Call of Duty sebagai sebuah franchise, Call of Duty akhirnya kembali ke cita rasa perang klasik – Perang Dunia Kedua lewat Call of Duty: WWII. Maka seperti kebiasaan seri-seri COD sebelum ini pula, kekuatan ceritanya dan dramatisasinya di mode campaign memang sesuatu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Berpijak dalam sebuah event yang terjadi di dunia nyata, Anda akan mendapatkan sebuah cerita yang tak akan kalah dengan apa yang Anda temukan di film perang dunia kedua dari Hollywood sekalipun.

Anda akan berperan sebagai Private Ronald “Red” Daniels – seorang prajurit yang berangkat dengan meninggalkan wanita yang ia cintai di rumah. Bergabung di 1st Infantry Division yang dikepalai oleh Sersan William Pierson dan Letnan Joseph Turner, Red merupakan salah satu anggota pasukan yang diterjunkan untuk berperang langsung melawan pasukan Nazi di daratan Eropa. Tidak sendiri, ia juga ditemani oleh anggota divisi lain yang bisa ia percaya – Frank Aiello, Drew Stiles, dan Robert Zussman, yang masing-masing punya kepribadian yang unik. Mereka saling bahu-membahu untuk tidak hanya memastikan pasukan Nazi terbunuh, tetapi juga menjamin bahwa setiap dari mereka, akan bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga mereka kembali.



Namun tentu saja, perjalanan ini sendiri tidak mudah. Menjadi tugas 1st Infantry Division lah untuk membantu Sekutu merebut dan masuk ke dalam wilayah-wilayah yang sudah dikuasai oleh Nazi sebelumnya. Membantu menghancurkan senjata anti-udara hingga sekedar menyelinap untuk mendapatkan intel yang esensial untuk menundukkan pemerintahan fasis yang satu ini, mereka juga akan bertemu dengan Rousseau – seorang prajurit wanita pemimpin pasukan pemberontakan di Paris untuk membantu Perancis melepaskan diri. Satu yang pasti, bahaya dan nasib 1st Infantry Division adalah dua kata yang berkorelasi sangat kuat satu sama lain.


Lantas, pertempuran seperti apa saja yang harus dijalani oleh Red? Mampukah semua pasukan dari 1st Infantry Division ini berakhir selamat? Kemana saja mereka harus menghancurkan Nazi? Semua jawaban dari pertanyaan tersebut tentu bisa Anda dapatkan dengan memainkan Call of Duty: WWII ini.

Lumpur dan Darah


Jika ada satu hal yang mungkin Anda rindukan dari tema perang futuristik yang diambil oleh Call of Duty selama beberapa tahun terakhir, adalah presentasi visual yang mereka tawarkan. Fakta bahwa mereka hadir dalam genre sci-fi yang tidak harus mengakar pada kenyataan membuat developer punya kebebasan untuk meracik apapun yang mereka inginkan. Dari sekedar ruangan penuh metal sebagai tempat bermain, suasana pertempuran luar angkasa dengan ragam meteor dan planet yang terlhat begitu indah di kejauhan, hingga sekedar permainan warna armor dan desain yang gila. Dengan kembalinya Call of Duty ke perang dunia kedua yang tentu saja berpijak pada kenyataan, maka Anda tentu tidak akan lagi berhadapan dengan kebebasan yang serupa. Yang tersisa kini, adalah lumpur dan darah.

Warna permainan yang lebih kelam dan gelap memang mau tidak mau, menjadi bagian dari Call of Duty: WWII. Tidak ada gelombang optimisme dalam sebuah kegiatan yang dengan mudahnya, membuat ratusan ribu nyawa melayang begitu saja. Maka yang Anda temukan di sepanjang permainan adalah sebuah arena pertempuran yang penuh dengan lumpur dan reruntuhan, seolah menggetarkan gelombang keputusasaan dan kerusakan yang intensif, baik di mode multiplayer ataupun campaign itu sendiri. Untungnya, Sledgehammer Games cukup cerdas untuk menyuntikkan sedikit variasi untuk membuatnya tidak terasa monoton di sana. Selain pertempuran penuh lumpur, tanah, dan pepohonan, Anda juga akan berhadapan dengan pertarungan dalam kota yang cukup dramatis.



Salah satu hal yang pantas untuk diacungi jempol adalah konsistensi untuk memotret perperangan dan brutalitas yang muncul darinya secara eksplisit. Bahwa aksi Anda ketika menembak kepala atau sekedar melemparkan granat sekarang tidak hanya disambut dengan tubuh yang melayang begitu saja, tetapi terkadang potongan tubuh yang tak terhindarkan. Konten gore seperti ini juga didesain tidak berlebihan seperti Wolfenstein II misalnya, dan berusaha ditampilkan serealistis mungkin. Keputusan untuk mempertahankan elemen seperti ini tentu saja membuat pengalaman yang hadir, terasa otentik.

Pertanyaan terpenting yang mungkin berada di benak Anda sekarang, adalah bagaimana kualitas visaulisasi yang ia tawarkan? Seperti seri sebelumnya, Call of Duty: WWII menggabungkan konten pre-rendered cut-scene untuk membungkus cerita utama yang ada, dan tentu saja dramatisasi dengan scripted event khas franchise yang satu ini. Jika dibandingkan dengan Infinite Warfare misalnya, tidak ada perubahan dari sisi visual yang benar-benar mencenangkan, misalnya. Namun untuk memperkuat statusnya sebagai seri pertama perang klasik Call of Duty yang dirancang dan dirilis untuk platform generasi saat ini, ada beberapa elemen baru yang ditambahkan dari sisi presentasi. Dari salah satu chapter dimana Anda bisa melihat bahwa serangan tank Anda kini mulai bisa merusak dan menghancurkan bagian gedung tertentu, hingga sekedar detail visual pasukan Nazi yang berusaha menikam Anda dengan pisau dari jarak dekat. Presentasi yang ditawarkan memang pantas untuk diacungi jempol.



Tentu saja, seperti yang kami bicarakan sebelumnya, Anda memang butuh membiasakan diri kembali dengan warna keseluruhan jika sempat mencicipi seri futuristik Call of Duty selama beberapa tahun terakhir. Kerennya lagi? Mengingat salah satu scene awal juga digunakan oleh seri Call of Duty masa lalu, Anda kini bisa melihat seberapa signifikan perbedaan dan perkembangan teknologi yang ditawarkan oleh Call of Duty: WWII saat ini.

Mode Campaign yang Fantastis!


Jika Anda dan saya berbicara soal apa yang jadi kekuatan utama Call of Duty sebagai sebuah franchise, sebagian besar dari kita sepertinya akan setuju bahwa ia selalu mengandung mode campaign (cerita) yang tak pernah gagal fenomenal. Bahwa terlepas dari statusnya sebagai game FPS linear dengan sistem koridor yang hanya meminta Anda untuk bergerak dari titik A ke titik B tanpa ada kesempatan dan kebutuhan eksplorasi yang memadai, tidak lantas membuat sang developer tidak bisa berinovasi dengannya. Hal yang sama juga diterapkan Sledgehammer Games di Call of Duty: WWII. Untuk sebuah game yang tidak bisa lagi memanfaatkan sistem seperti jetpack, double jump, atau wall-running, mereka punya pekerjaan berat untuk memastikan konsep lawasnya tidak lantas membuatnya terasa monoton. Untungnya, Sledgehammer Games melakukan tugas yang baik dengannya.

Kembali mempresentasikan momen perang dunia kedua yang ikonik dengan teknologi baru dengan dramatisasi ala film Hollywood yang serupa, Anda sepertinya masih akan berhadapan dengan sensasi campaign Call of Duty yang familiar. Namun berbedanya? Seri yang satu ini tidak lagi berputar soal pertempuran antara “baik vs jahat” seperti di seri-seri sebelumnya. Walaupun Anda menikmatinya dari kacamata seorang prajurit Amerika Serikat, namun jelas bahwa Sledgehammer Games ingin memotret lebih luas soal konsekuensi sebuah perang. Yang Anda dapatkan adalah sebuah game yang memperlihatkan seperti apa dampak yang bisa muncul dari aksi saling membunuh untuk melindungi atau memperjuangkan satu ideologi spesifiki ini. Bahwa bukan membuat Anda merasa seperti seorang superhero yang dengan mudahnnya mampu membalikkan keadaan, Anda berperan sebagai seorang manusia yang sekedar “terjebak” di dalam situasi buruk, mewakili satu pihak, dan sekedar ingin pulang ke rumah selamat bersama dengan teman-teman Anda di satu divisi yang sama.



Hasilnya adalah mode campaign yang fantastis dari sisi cerita. Bahwa tidak seperti di seri-seri sebelumnya yang selalu berputar dan bercerita dengan Anda – sang karakter utama sebagai roda pendorong, Call of Duty: WWII justru ingin memperlihatkan seberapa buruk sebuah perang dan beban yang harus dipikul tidak hanya orang-orang yang terlibat secara aktif di dalamnya, tetapi juga mereka yang mau tidak mau, “dipaksa” untuk ikut memikulnya. Ia memperlihatkan horror, kekejaman, pengorbanan, kematian, hingga sekedar kondisi seperti trauma dan beban psikologis sebagai sesuatu yang “lumrah”di dalam usaha untuk bertahan hidup ini. Ia juga memotret Nazi lewat sudut pandang baru yang belum pernah dilakukan di seri lawas seperti memperlihatkan terror yang muncul dari kamp konsentrasi, contohnya. Eksekusinya dilakukan dengan baik, sembari mempertahankan cerita yang tetap koheren.

Lantas, bagaimana dengan sisi gameplay itu sendiri? Ada banyak inovasi yang ditawarkan Sledgehammer Games di sini, dengan beberapa di antaranya terhitung cukup signifikan. Sebagai pembuka? Seperti seri Call of Duty di masa lalu, mereka membuang sistem regenerasi health di sini. Sebagai gantinya, Anda kini berhadapan dengan sebuah bar HP yang terpampang di bagian kiri bawah layar. Untuk memulihkan diri, Anda kini harus menggunakan med-kit yang tersebar di arena pertempuran, ataupun lewat sebuah mekanik baru lain yang tak kalah keren. Benar sekali, ia kini juga menyisipkan konsep Kill-Streak di dalam permainan.



Untuk meninggalkan kesan bahwa teman-teman seperjuangan Anda tidak berakhir sekedar karakter “tamu” di dalam cerita yang tidak punya peran signifikan apapun, Sledgehammer Games mendesain sistem gameplay baru untuk mendorong Anda punya keterikatan emosional dengan mereka. Mereka mengadaptasikan sistem kill-streak dengan ragam bonusnya ke dalam mode single player campaign ini. Selayaknya sebuah sistem skill yang punya waktu cooldown dan butuh untuk terisi, Anda kini bisa meminta “bala bantuan” ke teman NPC yang berperang aktif bersama dengan Anda di medan pertempuran. Lewat sebuah user-interface yang diletakkan di bagian kanan layar, Anda bisa melihat siapa saja yang bisa Anda minta bantuannya pada saat itu ataupun berapa banyak lagi bar yang harus diisi agar Anda bisa menggunakannya. Setiap anggota divisi Anda akan menawarkan tambahan kemampuan yang berbeda-beda, dari  yang memberikan Anda ammo, med-kit, membuat highlight setiap musuh agar Anda bisa mengetahui posisi mereka, hingga yang memungkinkan Anda untuk memanggil bala bantuan Artillery Strike untuk membantu membersihkan satu area secara instan.

Di luar sistem tanpa regenerasi health dan support dari teman NPC Anda ini, Call of Duty:WWII juga menawarkan beberapa sesi permainan baru yang membuatnya tidak hanya unik, tetapi memperkuat presentasi cerita yang ada. Ada sesi ketika Anda bermain sebagai Rosseau – seorang mata-mata sekaligus pemimpin pemberontakan yang tidak berfokus pada usaha mengangkat senjata. Anda justru diminta untuk menyusup ke markas musuh dengan gameplay yang berpusat pada usaha untuk mengingat identitas palsu Anda, mengorek informasi dari para petinggi Nazi, dan “menyulut” perang pembebasan di Paris. Segmen gameplay baru lain yang menurut kami cukup keren adalah sesi berkendara super cepat dengan menggunakan Jeep di tengah terjangan peluru dan senjata berat yang dramatis. Sisanya? Anda yang familiar dengan formula Call of Duty masih akan berhadapan dengan konten yang sama.



Satu yang menarik, adalah “kebebasan” gameplay yang ia tawarkan di beberapa misi yang ada. Bahwa tidak seperti game kebanyakan yang akan menggagalkan Anda begitu saja ketika Anda ketahuan di sebuah misi yang jelas merupakan misi berbasis stealth misalnya, Call of Duty: WWII memutuskan untuk mendorong gameplay untuk terus berjalan. Tidak ada proses gagal instan dan sejenisnya di sini, hanya Anda yang harus berhadapan dengan konsekuensi spesifik sementara. Membuka serangan terbuka berarti membuat banyak pasukan Nazi sadar akan posisi Anda dan akan berusaha menyerang Anda begitu saja. Di salah satu misi dimana Anda harus mengendap untuk mengejar sebuah kereta misalnya, ia akan langsung mulai menghitung countdown hingga kereta berangkat, membuat Anda kini “dikunci” di dalam ruang waktu yang terbatas.

Maka hasilnya adalah sebuah mode campaign yang pantas untuk diacungi jempol. Di luar beragam inovasi gameplay baru yang disuntikkan, termasuk sesi QTE yang kini berbeda dengan meminta Anda untuk mengarahkan terlebih dahulu arah tombol yang ingin Anda capai, maka kemampuan Sledgehammer Games untuk meracik sebuah cerita perang yang lebih personal dan emosional lah yang membuat kami jatuh hati. Ini bukan lagi sekedar membunuh pasukan Nazi jahat dengan pasukan Sekutu yang ada. Ini juga soal melihat dan memandang perang sebagai satu keseluruhan situasi. Sebuah tragedi yang meminta begitu nyawa, baik yang terikat ataupun tidak terikat pada hidup Anda.

Mode WAR – Daya Tarik Multiplayer yang Sesungguhnya


Jika kita harus berbicara jujur, mode multiplayer memang tidak pernah menjadi daya tarik utama Call of Duty di mata kami. Alasannya? Bahwa terlepas dari fakta bahwa ia selalu hadir dengan lebih banyak tema dan inovasi gameplay berbeda di dalamnya, Anda selalu bisa melihat pondasi gameplay serupa di dalamnya. Bahwa ia selalu berkisar soal pertempuran jarak dekat dengan desain peta terbatas yang dibagi ke dalam berbagai jalur. Kemenangan akan ditempuh bukan dari kemampuan Anda untuk berstrategi, tetapi siapa yang menembakkan peluru pertama terlebih dahulu. Berita baiknya? Desain seperti ini memang selalu berhasil mendorong gameplay dinamis yang berjalan cepat. Bahwa untuk menang, Anda harus terus berlari, menembak, kabur, dan mengulang rutinitas yang sama. Hal yang sama juga ditawarkan Call of Duty: WWII ini di beberapa mode, tentu saja kini, dengan senjata klasik.

Walaupun demikian, bukan berarti game ini hadir tanpa sesuatu yang baru sama sekali. Kami pribadi bahkan melihatnya sebagai hal utama yang membuat seri ini begitu fenomenal di sisi multiplayer. Benar sekali, kami bicara soal salah satu mode bernama WAR. Untuk Anda yang tidak terlalu familiar dengannya, berbeda dengan mode klasik seperti Team Deathmatch atau Domination, WAR diposisikan selayaknya mode Operations di Battlefield 1. Ia adalah sebuah mode multiplayer kompetitif dengan elemen cerita di dalamnya. Gameplay-nya sendiri berbasis objective, dimana player seharusnya bekerjasama untuk menyelesaikan satu misi bersama-sama untuk bisa memenangkannya. Jadi, ia tidak bergerak sebagai ruang untuk memperlihatkan skill individu Anda dengan jumlah angka bunuh dan mati, tetapi mencari cara untuk menyerang / mempertahankan objective yang ada, baik ketika Anda berperan sebagai tim penyerang ataupun bertahan.




Di dalamnya, ada begitu banyak elemen baru yang disuntikkan. Di beberapa titik misalnya, Anda akan diberi kesempatan untuk tidak hanya sekedar menghabisi musuh saja, tetapi juga mencapai beberapa hal lain yang bisa digunakan untuk membantu tim Anda, terutama dari kemampuan membangun. Dengan menekan satu tombol sederhana, Anda bisa membangun banyak hal, dari sekedar dinding untuk melindungi objective, palang untuk menghalangi gerak tank, hingga machine gun untuk membantu Anda bertahan / menyerang. Sementara ketika Anda di pihak agresor, Anda tentu berkesempatan untuk menghancurkan mereka. Seperti seri-seri COD sebelumnya pula, karakter Anda bisa mengusung beragam senjata dan kelas yang akan menghasilkan perk spesifik, seperti Airborne yang bisa menggunakan suppressor hampir di semua senjata yang ada, misalnya.

WAR adalah mode multiplayer terpenting COD:WWII. Walaupun sangat disesalkan bahwa Sledgehammer Games hanya menyuntikkan tiga buah peta saja untuk dicicipi di rilis versi final ini, namun ketiga mode ini berakhir menawarkan pengalaman fantastis dengan tidak ada satupun yang berakhir meminta Anda untuk melakukan tugas yang sama.

Ada operation Breakout dari masa beta yang meminta Anda membangun jembatan di tengah kepungan pasukan musuh, Operation Griffin yang berkutat pada usaha untuk mendorong gerak Tank ala mode Payload di Overwatch dengan sedikit twist di dalamnya, hingga yang paling fantastis – Operation Neptune yang mereka ulang pertempuran Normandy dalam format kompetitif. Untuk misi terakhir ini, ia berakhir menjadi yang paling mengagumkan. Ketika menjadi pasukan Nazi, Anda akan bertahan dengan senapan mesin, menjaga pantai dengan menembaki ragam pasukan musuh yang ada. Ketika jadi Allied, tidak ada yang lebih menegangkan selain berlari secepat mungkin dan berharap agar tidak ada satupun senjata mesin itu yang mengarah ke kepala Anda. Proses balancing juga cukup keren dimana Sledgehammer menambahkan pasukan-pasukan berbasis AI sebagai decoy, hingga kesempatan hidup Anda tetap tinggi di tengah gempuran senjata ini.



Namun sayangnya, agak sedikit menyedihkan bahwa kita hanya mendapatkan tiga peta untuk mode yang satu ini. Sebagai mode multiplayer terfavorit kami, Activision dan Sledgehammer Games sebenarnya masih bisa mendorong banyak skenario pertempuran ikonik selama perang dunia kedua untuk dijadikan pondasi untuk mode yang satu ini. Dengan jumlah hanya tiga peta, maka Anda sepertinya akan selesai mencicipi semua peta yang ada, baik dari kedua belah pihak, hanya dalam satu jam permainan saja. Apakah mereka akan menambahkannya ke dalam bentuk peta ekstra ketika DLC berbayar muncul di masa depan? Sepertinya akan berakhir demikian.



Sledgehammer Games juga mengubah struktur multiplayer yang ada. Tidak lagi sekedar memilih menu saja, Anda kini akan ditempatkan ke dalam social hub ala Destiny dengan kacamata orang ketiga untuk melihat penampilan karakter Anda. Di sini ada banyak aktivitas yang bisa Anda lakukan, dari sekedar menonton pertandingan e-Sports secara live, mengambil misi (Contracts) yang harus diselesaikan dalam periode waktu tertentu untuk mendapatkan reward tertentu, hingga sekedar mengumpulkan gaji yang bisa Anda dapatkan secara berkala untuk “membeli” misi-misi ini. Walaupun mengusung sistem lootbox di dalamnya, kontennya sendiri tidak lebih dari sekedar kosmetik. Progression system, termasuk membuka lebih banyak attachment untuk senjata hingga varian senjata beragam kelas yang bisa Anda pakai akan sangat bergantung pada level dan frekuensi Anda menggunakan senjata tersebut. Tidak ada yang terkunci di balik lootbox.

Walaupun kami sendiri termasuk gamer yang tidak pernah mencintai mode yang satu ini, mode Zombie untuk COD: WWII juga kembali. Antisipasinya sendiri terhitung cukup tinggi mengingat ia ditangani oleh mantan orang-orang Visceral yang kini berdiri di bawah bendera Sledgehammer Games. Kami sendiri sempat menjajalnya secara online, dan menemukan bahwa struktur gameplay-nya masih serupa namun kini dengan area lebih luas dan misi spesifik yang membutuhkan Anda untuk menempuh proses eksplorasi, di tengah kepungan zombie yang ada. Untuk Anda yang senang dengan mode ini di beberapa seri sebelumnya, daya tarik serupa tetap akan ditawarkan oleh COD: WWII ini.


Seperti yang kami bicarakan sebelumnya, mode WAR tetaplah jadi daya tarik utama Call of Duty: WWII itu sendiri. Walaupun Anda sudah termasuk gamer yang sudah bosan dengan formula Team Deathmatch dan desain keseluruhan yang dekat, cepat, dan tertutup, mode WAR tampil sebagai oase menyegarkan yang sepertinya, memang dibutuhkan oleh mode multiplayer itu sendiri. Untuk masalah multiplayer, walaupun kami sempat merasakan sedikit masalah server setidaknya di dua hari pertama rilis, namun masalah ini sepertinya sudah “dibenahi” Activision pada saat review ini ditulis dan dirilis.

Kesimpulan


Menyebutnya sebagai salah satu seri Call of Duty terbaik yang kami cicipi selama setidaknya 5 – 6 tahun terakhir memang tidak berlebihan. Jujur saja, jika Anda meminta kami bercerita dan mengenang kembali siapa nama karakter utama untuk seri Advanced Warfare, Ghost, atau Black Ops 3, kami mungkin akan kelabakan karena cerita yang ditawarkan memang tidak sebegitunya memorable. Namun kemampuan Sledgehammer Games meracik Call of Duty: WWII tidak hanya membawanya ke timeline cerita yang memang sudah lama kita antisipasi, tetapi juga meraciknya sebagai salah satu mode campaign yang paling personal dan emosional memang membuatnya terasa fenomenal. Anda akan ingat siapa Zussman, Anda akan ingat bagaimana game ini memotret perang sebagai sebuah kekuatan destruktif yang menjadikan nyawa manusia sebagai taruhan, dan Anda akan ingat apa yang harus dikorbankan untuk meraih kemenangan atas nama ideologi tertentu. Untuk memperkuat itu, Sledgehammer Games juga menaruh dan mengadaptasikan mode WAR yang begitu fantastis untuk mode multiplayer yang memang mulai, terasa stagnan.

Walaupun demkian, seri ini tidak bisa dibilang sempurna, walaupun sebagian besar keluhan masih bersifat minimal dan tidak esensial. Kami sedikit menyesalkan sedikitnya jumlah peta untuk mode WAR dan formula untuk beberapa mode klasik seperti TDM dan Domination yang masih terasa seperti seri Call of Duty lawas, tanpa inovasi yang signifikan. Ketidaksiapan server di beberapa hari awal rilis juga membangkitkan kekhawatiran soal kesiapan Activision untuk mempersiapkan mode yang satu ini, apalagi dengan konsep Social Hub yang ia usung. Berita baiknya? Kami tidak menemukan keluhan yang pantas untuk dibicarakan di mode campaign yang menurut kami, fantastis.

Maka terlepas dari kekurangan tersebut, Call of Duty: WWII tampil sebagai salah satu seri COD terbaik yang kami cicipi, tidak hanya dalam beberapa tahun terakhir ini, tetapi juga sejauh sejarah kami mencicipi franchise yang satu ini. Ada sebuah kepuasan untuk melihat bahwa kisah pertempuran melawan Nazi ini tidak sekedar divisualisasikan sebagai “perang melawan organisasi jahat” seperti game FPS kebanyakan selama ini. Tetapi dijadikan sebagai ruang untuk memberikan Anda perspektif lebih luas soal perang sebagai sebuah terror untuk pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Kelebihan


  • Cerita yang keren dan emosional
  • Karakter memorable
  • Inovasi misi dan gameplay di mode campaign
  • Mode WAR untuk konten multiplayer inovatif
  • Progression system didesain rasional
  • Social Hub didesain rapi


Kekurangan


  • Sempat terjadi masalah dengan server
  • Mode mutliplayer lain seperti TDM misalnya, terasa stagnan
  • Jumlah peta untuk mode WAR terlalu sedikit

Cocok untuk gamer: pencinta seri Call of Duty lawas, yang menginginkan game FPS dengan cerita keren

Tidak cocok untuk gamer: yang menginginkan sensasi perang modern, berharap mode multiplayer hadir dengan pertempuran ala Battlefield


















Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Review Call of Duty – WWII: Salah Satu Seri Terbaik!"

Post a Comment